Kamis, 31 Desember 2009

Menuju Candi Dadi

Rabu, 23 Desember 2009, matahari pagi bersinar cerah. Beberapa anak kelas XII IPA 1 tampak duduk bergerombol, membicarakan rencana kegiatan untuk mengisi liburan semester 1. Singkat cerita, ide lama Alfa untuk pergi ke Candi Dadi menjadi konklusi dari pembicaraan yang berlangsung alot karena bingung menentukan hari. Diputuskan bahwa anak-anak akan pergi ke Candi Dadi pada hari Senin, 28 Desember 2009, berkumpul di masjid warna putih di timur balai Desa Sanggrahan pukul 07.30 WIB. Peserta ekspedisi kali ini adalah Alfa Ridhoana, Aulia Dwi Fitriana, Dzikri Febrian Taufiqi, Erta Novitasari, Fatih Diana, Indatul Fitriyah dan Lailatul Kusnia.
Hari Minggu, aku sibuk mengirim pesan ke teman-teman, menanyakan kesiapan dan kesanggupan untuk perjalanan esok hari. Mayoritas dari mereka positif untuk ikut. Sayang, Indatul ada kursus Fisika, dan Ella sedang dalam masa penyembuhan dari sakit. Terpaksa mereka tidak ikut. Kasihan…. Alfa bingung sendiri karena ragu, jadi ikut atau tidak, sebab tidak ada Inda yang menjadi teman seperjalanannya.
Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu tiba. Sejak subuh langit mendung. Kadang gerimis kecil menyirami Desa Boyolangu dan sekitarnya. Dalam hati aku berharap, semoga cuaca segera menjadi cerah sehingga rencana kami dapat terlaksana. Sejak pagi aku sudah bersiap-siap, menyapu rumah dan halaman setelah solat subuh, sehingga ada cukup waktu untuk mandi dan sarapan sebelum pukul 06.00. Akhirnya pukul 06.15 aku siap berangkat.
Di tengah jalan, aku bertemu Nene yang berhenti di depan masjid sebelah barat balai desa. Ternyata Nene salah tempat. Setelah ngobrol beberapa menit, kami menuju masjid yang dimaksud. Di Masjid Baitur Rohman ternyata belum ada orang. Kebetulan gerbang masjid tidak terkunci, jadi kami bisa masuk dan duduk-duduk di masjid.
Aku menanyai Alfa lewat sms, “Alfa, awakmu ing ngendi?” Dia bilang “Heh, q sek tekan Tanjungsari.”* Nene sms Mbak Ana, katanya mereka masih di Wajak. Kami terus menunggu, duduk di serambi masjid karena gerimis turun lagi.
Tak lama, Mbak Ana dan Erta datang. Mereka datang bersama dua orang anggota tambahan, Aulia Dwi Fitriani dan Aviv Asmara Khahar dari XII IPA 6. Erta yang awalnya hendak berangkat naik motor terpaksa harus menggoes-goes sepeda onthel dari Simo karena motornya sedang dipakai ortu. Selang beberapa menit, Alfa tiba. Karena gerimis belum berhenti, kami duduk-duduk dulu.
Setelah gerimis reda kami mencari tempat untuk menitipkan sepeda. Tempat yang kami tuju adalah rumah di sebelah timur jalan menuju candi. Aku dan Alfa menuju pintu samping rumah. Kami mengucap salam beberapa kali, namun tidak ada jawaban. Tetangga sebelah bilang kalau penghuninya masih keluar. Akhirnya kami menitipkan kendaraan di rumah seberang jalan yang dihuni nenek-nenek. Lima sepeda dan satu motor memadati teras rumah nenek itu.
Kami memulai pendakian. Di awal perjalanan, kami meniti jembatan bambu yang membentang di atas sungai kecil yang kering. Hih… pringe enek sing tilak kobong! Mengko yen tugel piye??? Setelah melewati sungai, kami mendaki lereng yang agak terjal. Di kiri-kanan lereng ditanami kacang tanah. Bunga-bunga kuning mekar cantik sekali…. Agak ke atas jalannya berbatu-batu. Aku menyadari sesuatu. Jalan yang kulalui beberapa tahun yang lalu nampak berbeda. Beberapa tahun yang lalu jalan tersebut gersang (karena musim kemarau), namun sekarang tampak hijau karena musim penghujan.
Dengan pede (walaupun sebetulnya tidak tahu jalan mana yang benar), kami melintasi jalan yang berkelok-kelok. Bila berada di persimpangan, kami memilih jalan yang tampak lebih mudah dilalui. Di persimpangan pertama, satu jalan mendaki bukit, jalan lain mengitari bukit. Jalan yang mendaki kondisinya curam, berbatu-batu dan sempit, walaupun di bagian percabangan tampak lebar. Kami memilih jalan yang mendatar, mengitari bukit. Setiap beberapa menit, kami berhenti untuk mengambil nafas.
Tiba-tiba gerimis turun. Kami melindungi kepala dengan barang seadanya. Aku mengambil kantong kresek warna merah yang ada dalam tas untuk menutupi kepala. Mana ujan, ga ada ojek, jalanan becek…. Kami meneruskan perjalanan, dan tiba di daerah yang jalannya landai. Alhamdulillah. Bejane, gremise mandheg.
Tak berapa lama, kami tiba di punggung bukit yang menghubungkan dua puncak bukit. Di sebelah barat jalan adalah lereng terjal. Di sebelah timur ada jurang. Tapi tempat itu tampak indah… (nggak cuma sekali, tapi berkali-kali). Ngarai di bukit sebelah timur jurang tampak cantik. Kami juga bisa memandang ke arah persawahan di kaki bukit. Sayangnya saat itu kabut agak tebal, sehingga pemandangan hanya tampak samar-samar. Di situ kami sempat berfoto-foto. Di daerah itu pula, tumbuh sebatang pohon yang menyendiri di tepi jalan. Sebetulnya jumlah pohonnya nggak cuma satu, hanya saja seperti membuat kelompok sendiri yang terpisah dari vegetasi lain. Di sisi barat, nampak puncak Gunung (baca: Bukit) Budheg yang masih berselimut awan. Di sebelah utara Gunung Budheg, daerah Boyolangu dan sekitarnya yang masih tertutup kabut tampak seperti lautan. Adeudeuh… cantik pisan….
Kembali meneruskan perjalanan. Kami menemukan sungai yang berair jernih. Kami berhenti sebentar di situ, sekedar untuk duduk-duduk dan cuci tangan. Alfa berjalan tanpa melihat apa yang dipijak, sehingga kakinya masuk ke kubangan lumpur. Sandhale Alfa gupak endhut, gek srampate cepot pisan, untunge ra pedhot. Akhirnya kami menunggu Alfa cuci kaki dan cuci sandal. Hi hi hi….
Beberapa menit melanjutkan perjalanan, kami kembali dihadapkan pada jalan yang bercabang. Kedua jalan tampak meyakinkan karena sama-sama lebar. Bedanya, jalan yang satu menuju ke atas, yang satu mengitari bukit. Karena candi yang kami tuju letaknya di puncak bukit kami mencoba jalan pertama. Nyatanya, jalan tersebut curam dan licin, berlumpur karena baru tersiram hujan. Seketika alas kaki kami menjadi kotor, bahkan celana Alfa belepotan tanah. Melihat kondisi jalan yang sulit, kami putus asa ketika menempuh beberapa meter awal. Kami tidak yakin bila jalan tersebut benar-benar menuju candi. Kami berbalik arah dan memilih jalan yang satunya.
Jalan kedua ternyata mudah di awal, sengsara di perjalanan. Beberapa meter dari persimpangan, kami menemui tikungan yang licin, becek, dan banyak semut. Satu per satu dari kami melewati tikungan tersebut. Tiba-tiba ada orang yang berseru. Orang yang tidak nampak itu meneriaki kami, memberitahu kalau kami salah jalan. Kami saling pandang. Kami bimbang, antara mempercayai suara tak dikenal ataukah meneruskan perjalanan, sementara kami tidak mengetahui jalan mana yang benar….
Akhirnya kami berbalik arah. Kami kembali ke jalan pertama yang mendaki, curam, berlumpur dan licin. Kami memilih mendaki di tepi jalan, di bagian yang berumput dan tidak licin meskipun kadang harus membungkuk untuk berpegangan pada rumput liar. Sambil mendaki, Mbak Ani meneriakkan ucapan terima kasih.
Beberapa menit mendaki jalan yang curam, licin, dan becek, kami menemukan jalan yang agak datar. Pada awalnya kami bernapas lega. Namun di balik tikungan, ternyata ada bagian yang becek lagi, licin lagi, cekung ke bawah plus setengah longsor pisan. DEG…. Kondisi jalan jelek, di sebelah kanan tumbuh belukar yang menutupi jurang. Perjalanan kembali merayap pelan. Satu per satu berusaha agar tidak tergelincir saat melewati tikungan. Hampir tidak ada benda yang dapat dijadikan pegangan. Satu batang tanaman kecil yang tumbuh tepat di tikungan memiliki banyak duri. Satu-satunya yang dapat dipegang hanyalah batang petai cina mungil yang nampaknya baru tumbuh. Sambil merayap aku berharap semoga batang petai cina itu tidak patah.
Habis gelap terbitlah terang. Setelah bersusah payah di tikungan cekung, kami kembali menemukan jalan mendatar. Jalan tersebut cukup nyaman, rindang, tanahnya lembab, namun tidak sampai becek. Pemandangan sekitar cukup indah dilihat. Di sebelah barat, di puncak bukit seberang, terlihat beberapa orang berkumpul. Sepertinya orang-orang pecinta alam. Tak jauh dari tempat itu selembar kain biru bak layar dibentangkan vertikal. Logo di kain itu tak terlihat dari tempat kami. Tetapi kami menebak, mungkin mereka anggota Arismaduta (harusnya namanya diganti Arismaboy). Kami bersorak-sorak tak jelas, dengan tujuan yang tak jelas pula.
Tak lama, kami sampai di sebuah tikungan. Tepat di sebelah tikungan itu ada sepetak lahan berumput yang teduh. Di daerah situ terdengar kicauan burung bersahut-sahutan. Kami berhenti sebentar untuk istirahat, membuka bekal. Mbak Ana membawa kerupuk yang enak (aku lali jenenge, pokoke bakale saka tela, kaya entho-entho tapi gepeng, digoreng garing). Alfa membagikan getuk pisang. Maksud hati memeluk gunung, apadaya tangan tak sampai. Maksud Alfa membuang daun pisang ke lereng, apadaya malah mengenai Erta. Kami semua tertawa. Sambil duduk-duduk, kami mengamati pecinta ala nun jauh di sana. Salah seorang lelaki dari mereka memberi komando, “Berdiri! Berdiri!” Erta otomatis menjawab, “Aja, duduk ae, duduk.” Hahaha…. Kami tertawa lagi. Cuaca benar-benar telah menjadi cerah. Puncak Gunung Budheg dapat terlihat jelas dari tempat kami beristirahat.
Puas beristirahat, kami mendaki jalan berbatu menuju candi. Kami masih sempat mendengar ada seruan dari kejauhan, “Halo geng….” Yang langsung dijawab (dari kejauhan pula), “Arismaduta!” Rupanya memang benar mereka.
Sambil mendaki, Erta berkelakar jika ia kelak menjadi presiden ia akan membangun eskalator menuju Candi Dadi supaya tidak perlu bersusah-payah mendaki. Aku berjalan paling depan, setengah berlari, mencoba melihat apakah yang berada di puncak bukit memang Candi Dadi yang kami tuju. Beberapa meter dari puncak, aku melihat bangunan kuno berbentuk kotak. Alhamdulillah. Ternyata kami tidak salah jalan. Aku berseru kepada Alfa bahwa jalannya memang benar. Aku berhenti, menunggu yang lain tiba. Alfa dan Nene berjalan lebih dulu. Aku menyusul di belakang mereka.
Kondisi lingkungan sekitar candi nampak berbeda dari yang pernah kulihat. Beberapa tahun yang lalu sekitar candi kondisinya gersang, panas, sejauh mata memandang hanya nampak gradasi coklat. Dulu memang, aku ke tempat itu saat musim kemarau. Saat musim penghujan seperti sekarang, wow…. Adem….
Di halaman candi kami kembali membuka bekal. Sambil makan-makan kami melihat perkampungan dan hamparan sawah yang membentang nun jauh di bawah. Cantik pisan…. Dari puncak bukit, kami bisa memandang ke segala penjuru. Sawah menghijau terkotak-kotak rapi. Liukan sungai yang menyambung ke Kali Boyolangu tampak berkilau diterpa cahaya matahari. Samar-samar kami mendengar deru kendaraan bermotor yang melintasi perkampungan. Saat itu cuaca benar-benar cerah. Langit sebiru batu safir. Matahari bersinar terang. Kerisauan hati akan cuaca mendung hilang sudah. Di kejauhan Gunung Wilis masih saja tertutup awan.
Karena hari beranjak siang kami memutuskan untuk turun. Kami melewati jalan yang sama dengan yang yang lewati saat berangkat. Tiba di persimpangan Erta dan Nene mengocehkan keadaan Candi Dadi, agar Candi Dadi ramai dikunjungi orang sebaiknya di sekitarnya dibangun villa. Maksudnya???
Di tikungan itu pula kami menyempatkan diri untuk berhenti sebentar. Kami berteriak-teriak untuk mengucapkan salam perpisahan dengan Arismaduta, entah mereka mendengarkan kami atau tidak.
Jalan pulang terasa lebih ringan. Selain tidak perlu bersusah-payah membungkuk-bungkuk, lumpur di jalan mulai mengering. Jalanan tidak sebecek waktu pagi. Meski demikian, tanah tetap menempel dan mengotori alas kaki kami. Karenanya kami menyempatkan diri mampir ke kali. Di kali kami berhenti agak lama untuk membersihkan alas kaki, cuci tangan, cuci kaki, dan menunggu alas kaki kering.
Tiba di punggung antara dua bukit kami berfoto lagi. Nene melakukan pose ekstrim dengan memanjat pohon, padahal di belakangnya ada jurang yang menganga. Akibatnya, Erta harus membantu Nene turun dari pohon.
Perjalanan menuruni bukit tidak mengalami masalah. Kami selamat hingga di tempat penitipan sepeda. Kami mengambil kendaraan masing-masing, tak lupa membayar dan mengucapkan terima kasih pada tuan rumah. Selanjutnya kami pergi pulang ke rumah masing-masing, kecuali aku yang harus mengembalikan buku ke perpusda terlebih dahulu. Pada akhirnya semua berjalan dengan cara yang menyenangkan.

* Belakangan ketahuan bahwa Alfa saat itu masih ada di rumah, hendak berangkat, sama sekali belum memasuki wilayah Tanjungsari.

Op. 4






Minggu, 27 Desember 2009

Op. 3

The Gallery are 16 Double Diapason, 8 Diapason and 8 Prestant